Semstinya aku berkemas pulang,
Menuju persinggahan abadi.
Ketimbang berjalan diatas penderitaan diri dan membuat diri lain terganggu.
Mungkin aku layak hidup di tong sampah dalam keadaan kumuh.
Tak akan pernah ada yang tahu, bahwa di setiap jalan dari tempatmu menuju tempat ada air mata yang berjatuhan di antaranya adalah ketakutanku kehilangan kebersamaan.
Dan kamu tak pernah ingin tahu dimana letak air mataku jatuh.
Hampir di setiap celah aku meraung dan tak pernah ada jawaban pasti.
Yang abadi adalah setiap tetes air mata yang lahir dari rahim penderitaan dan rasa yang tak pernah usai meresahkannya.
“pergi dan jangan pernah kembali padaku, biar kan aku menata hidupku sendiri”
Kalimat ini adalah sebuah tanda pada apa yang tengah aku lakukan untuk membuat keramaian menghamipiri selalu, rasa ingin selalu bersama, ingin dimanja, ingin selalu ditemani lalu kau membimbingku dengan sesekali kamu menegur kesalahan dan ketidak etisan yang ada pada diriku. Tapi semuanya hanya bersinggah pada harapanku, bukan keberkenaan.
Menjadi yang kesekian itu menyakitkan dengan sangat. Bahwa yang lahir bukan cinta tapi keterpaksaan keadaan kebersamaan lah berada untukku. Duh terasa benar bahwa yang ada adalah sakit dalam.
Mungkin kau tak pernah ingin tahu tentang tangis yang kerasan menimpaku.